JDA.com. Membangun perspektif baru tentang galeri adalah satu poin penting yang ingin dicapai Galeri R.J. Katamsi, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Perspektif bahwa pameran yang selama ini hanya dikunjungi para seniman saja (eksklusif), oleh sang direktur galeri mulai digeser.
Membongkar sekat ekslusivitas ruang publik seni ‘galeri’, antara seniman dengan awam, perlahan hendak dikikis. Galeri R.J. Katamsi terbuka bagi siapa saja, tanpa kecuali bagi orang dengan disabilitas atau difabel.
Karenanya, Kamis (27/5) pada pameran tugas akhir mahasiswa Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, terdapat pengunjung dengan beragam disabilitas. Gelar pameran yang menggandeng Jogja Disability Arts (JDA) itu, dihadiri orang dengan disabilitas tuli, netra, pengguna kursi roda, krug, down syndrome, di antara para pengunjung lain. Mereka adalah para difabel yang tergabung dalam Komunitas Disabilitas Yogyakarta (KDY) dan Sanggar Pok Ame-ame. Ini kali kedua pameran di Galeri Katamsi dihadiri para difabel penikmat karya seni.
“Eksklusivitas galeri tetap akan ada pada sisi gedung, desain ruang, display karya, juga lighting. Namun, tidak dengan pengunjungnya. Galeri terbuka untuk dihadiri siapa saja. Sebab, galeri merupakan salah satu sarana edukasi, selain membangun interaksi sosial,” tegas Direktur Galeri R.J. Katamsi, Nano Warsono.
Lahirkan kosekuensi
Tujuan yang hendak dicapai oleh Galeri Katamsi dengan sendirinya melahirkan konsekuensi baru. Hal itu diakui dan disadari Nano Warsono sebagai direktur galeri. Melengkapi galeri dengan berbagai aksesibilitas sesuai kebutuhan, ialah konsekuensi yang mulai dipenuhi Galeri Katamsi. Sudah terdapat ramp, lift, kamar mandi akses, beberapa kursi yang diletakkan di beberapa titik.
Tak hanya konsekuensi melengkapi gedung dengan aksesibilitas fisik. Namun, bagi seniman pun memiliki konsekuensi menumbuhkan empati, memahami apa yang harus dilakukan ketika pamerannya dikunjungi oleh orang dengan disabilitas.
Haryo Nugroho dan Oky Antonius, adalah mahasiswa angkatan 2014 yang terlibat dalam pameran tersebut. Keduanya mengaku baru pertama kali pamerannya dihadiri penyandang disabilitas.
Awalnya mereka mengaku kaget dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Namun empati akhirnya tumbuh, setelah mampu menguasai diri dan mendapatkan pengarahan dari JDA.
“Ini adalah hal baru, bagi saya. Dan saya merasa mempunyai konsekuensi, ber tanggung jawab melakukan sesuatu. Paling tidak menyiapkan kursi pada titik-titik tertentu. Sehingga pengunjung difabel bisa beristirahat jika kelelahan,” Ujar Haryo yang diiyakan Oky.
Aksesibilitas di Galeri Katamsi belum sempurna memang. Karenanya, terus berproses, menerima masukan, membangun diskusi dengan sahabat dan pengunjung difabel, beberapa cara yang dilakukan direktur galeri dalam berbenah. DIskusi intensif dilakukan direktur galeri dengan Ketua Yayasan JDA, Sukri Budi Dharma, biasa dipanggil dengan nama Butong. [harta nining wijaya/foto:sbd]